Ads (728x90)

Pusat Reseller Kaos Dakwah Murah Indonesia

Oleh Makmor Habib Abd Gani*

Melihat keadaan di Aceh akhir-akhir ini yg semakin hari semakin tak menentu membuat saya jenuh dan merasa kasihan melihat rakyat yang tak mengerti mengapa setelah penandatanganan MoU Helsinki justru keadaan Aceh bertambah semeraut bukannya damai, bukankah tujuan penandatanganan itu untuk kedamaian seluruh rakyat Aceh, bukan untuk kedamaian satu kelompok. Kelihatannya sekarang ini banyak pihak yang sibuk bertikai sesama sendiri. Sebenarnya kita bisa selesaikan masalah itu kalau semua pihak menggunakan akal sehat, bepikir jernih dan bersikap dewasa dalam berpolitik.


Di dalam kehidupan ini beda pendapat adalah hal yang wajar, justru perbedaan pendapat itu sering melahirkan sesuatu yang baru yang di luar dugaan kita. Tinggal saja bagaimana cara kita menerima yg baru itu. Kita tidak bisa memaksakan semua orang agar sependapat dengan kita, kebebasan bersuara dan kebebasan mengeluarkan pendapat adalah salah satu dari cara berdemokrasi. Kritikan dari lawan atau teman itu adalah ilmu, jadi kita harus menerima dengan hati terbuka keritikan yang dilemparkan terhadap diri kita. Saya melihat orang kita susah sekali menerima keritikan dari orang lain. Malah nilai-nilai persaudaraan yang terjalin begitu harmonis di saat sedang susah kini sirna disebabkan oleh ketidak sabaran menerima keritikan.


Istilah ”Udép beusaré maté beusadjan, sikrèk gafhan saboh keuranda” kelihatannya hanya dipake waktu dalam kesusahan dan ketika ada kepentingan saja, setelah semuanya berakhir maka ”Leupah udarat sipak djalô”. Ini sangat melenceng dari ajaran agama kita, dalam agama selalu di suruh agar kita selalu baik dengan siapa saja, tak perduli siapa dia.


Ada yang bilang dalam Islam tidak ada Demokrasi, kalau tidak ada terus mau dikemakan ”Laqum dinuqum waliyadin” Al-Qur’an 109.06. Ayat ini kalau kita terjemah secara mendalam banyak maknanya, salah satunya kita tidak boleh memaksa orang.


Orang Aceh terkenal dengan Islamnya, tapi kelihatannya orang Aceh lebih kepada Islam ”meunan2”, tidak mendalami Islam itu secara benar mendalami ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an, sehingga cepat sekali termakan oleh hasutan dan propaganda murahan. Hampir semua orang Aceh bisa baca Alquran, tapi apa arti dan isi dalam Alquran itu sangat sedikit yang mengerti. Makanya perbuatan kebanyakan orang Aceh kalau kita lihat sekarang ini tidak ubang seperti perangai orang yang hidup di jaman jahiliyah.


Contoh yang ketara sekali adalah bangga melihat aib dan kesengsaraan saudaranya sendiri, berbunuh-bunuhan, mencabuli anak di bawah umur, menghukum orang tanpa mengetahui kesalahan orang tersebut alias main hakim sendiri. Hal ini sering terjadi di Aceh dimana orang sekampung telah menggebuki sampai patah gigi dan tulang rusuk seseorang karena di duga mencuri. Coba perhatikan kata-kanya ,”diduga” baru diduga udah patah gigi dan tulang rusuk. Tapi anehnya mereka yang sudah terang terangan memakan uang rakyat alias korupsi tak ada yg berani menghukumnya, malah dibiarkan saja meraja lela.


Kalau kita mau berbicara siapa yg mau disalahkan ya tentu saja banyak, tapi sampai kapan kita mau menyalahkan sesama sendiri, kalau kita terus terusan menyalahkan orang lain, maka kehidupan akan jadi monoton dan tidak akan pernah Aceh akan maju.


Yang salah disini adalah kita semua, Orang Aceh, karena kita tidak mau berganjak dari keadaan, kita tidak mau merubah nasib kita, hanya bisa berharap dan selalu mengeluhi nasib yang seolah-olah Allah yang telah menakdirkan kehidupan orang Aceh demikian.


Wake up my dear (Beudoh hai rakan) Allah sudah bilang ” Satu-satu bangsa tidak akan berubah nasibnya kalau bangsa itu tidak merubah nasibnya snediri” jadi jangan sebantar-sebentar berkata ”Ini sudah nasib dari Allah”.


Untung saja Allah gak bilang sama orang Aceh ”Heh orang Aceh, pakai tuh otak dan panca indra yang sudah Saya kasih, jangan asal pajang aja”.


Begitu juga nasib para poliTikus di Aceh sekarang ini, terlalu mempertahankan gensi ”bèkan talô, seri han di tém”, yang menjadi koraban adalah rakyat. Padahal waktu mereka menjabat sumpah dengan menyebut nama Allah, mereka berjanji akan menjalankan tugas dan amanah rakyat Aceh, kok tiba-tiba menjalan amanah dan tugas perut masing-masing. Ini kan namnya munafiq di depan Allah.


Cobalah kembali kepada yang benar, kan dalam hadis sudah ada di bilang, ”Kalau kamu sudah mendapatkan kebuntuan dalam menyelesaikan sesuatu hal, maka kembalilah kepada alquran dan hadis” jangan salah terjemah kata-kata ini. Sebab salah-salah bubuh makna bisa hancur jadinya. Ini bermaksa kita harus bertanya kepada Ulama, karena ulama lebih tau tentang hukum dalam Alquran dan Hadis.


Waktu jaman Sulatan Iskandar muda Ulama berperan penting sebagai penasehat bagi para petinggi di parlemen Aceh, Ulama adalah tempat merujuk kalau ada kebuntuan. Waktu itu ulama gak ikut dalam pemerintah dan politik, tapi ikut sebagai pemerhati dan penasehat. Bukan kayak sekang, Ulama ikut politik dan mencalonkan diri jadi Gubernur.


Ada teman saya bilang Ulama tidak salah kalau bepolitik, sebab menuurut mereka Rasullulah, Iman Khomeini dan ada yang lain juga berpolitik. Saya setuju saja dengan mereka, tapi siapa Ulama Aceh mau dibandingkan dengan Rasullullah dan Imam Komeini?


Waktu Rakyat Aceh dibantai di kem Semnyeh Malaysia, waktu rakyat Aceh di bantai di simpang KK, waktu Tgk Bantaqiah di bantai bersama anak muridnya, mana ulama Aceh yang berani mati untuk membela mereka, bukankah Ulama lebih tau tentang arti Syahid dan Syurga, kenapa mereka takut menegakkan kebatilan yang jelas ada di depan mata mereka.


Kini saya tambah mengerti apa yang dikatakan oleh Ama/Abu saya dulu, ”Ulama Aceh itu adalah Ulama Pancasila, jadi jangan heran kalau mereka takut untuk menegakkan kebenaran dan membela rakyat yang tertindas”.


Apa yang kita inginkah adalah, buatlah kerja sesuai dengan ke ahlian masing-masing, bukan berarti tukang masak tidak boleh untuk buat rumah, tentu saja boleh asalkan mau belajar.


Yang lucunya di Aceh, banyak anggota DPRA dan bupati belajar dikala menjabat, bukannya belajar sebelum menjabat. Ok ok saja belajar sewaktu menjabat, tapi bukan belajar dari Zero. Inilah yg membuat salah satu sebab kekacauan dan kemunduran Aceh yang semakin hari semakin parah.


Saya melihat bagaimana cara berpikir para politikus di Denmark yang kita bilang mereka ”kafir”, tapi apa yg menarik dengan mereka, mereka akan turun sendiri dengan cepat kalau mereka merasa tidak mampu menjabat jabatan yang diberikan. Mereka malu terhadap rakyat yang telah memilih mereka tapi tidak mampu melaksanakan tugas seperti yang di harapkan oleh rakyat. Kita yang mengaku Islam sejati, tidak punya malu dan nyali untuk mudndur kalau tidak sanggup untuk melaksanakan tugas. Bukan berarti mereka ”KAFIR” ini lebih baik dari kita, tapi kita harus mengakui bahwa norma Islam yang di ajarkan dalam Islam malah orang yg kita katakan ”kafir” ini yg mengamalkannya.


Politik Aceh sekarang ini lebih kepada persoalan pribadi dan perselisihan antara berkelompok, bukan berpolitik karena ingin memajukan Aceh. Masing-masing membenarkan diri dan sudah tidak tau dengan apa yang dinamakan Musyawarah dan Mufakat.


Gara-gara mereka yang begitu rakyat Aceh jadi sengsara, baik dari ilmu pengetahuan sampai perbaikan ekonomi.


Untuk memajukan ekonomi Aceh tidak perlu mengambil waktu sapai berpuluh-puluh tahun, tapi cukup beberapa tahun saja, asalkan pemerintah Aceh punya kometment dengan pembangunan ekonomi rakyat Aceh. Tentu saja rakyat Aceh juga harus bekerja keras, jangan hanya berharap dan berdoa tapi tidak ada usaha.


Di Denmark orang tanam sayur di dalam rumah dan harus di jaga dengan pupuk yg istimewa, di Aceh buang batang ubi jalar dan tak lama kemudian batang ubi jalar itu akan tumbuh lagi dan berbuah, jadi tidak ada alasan ada orang Aceh yang kelaparan.


Pembinaan mental buat rakyat Aceh untuk maju adalah satu yang sangat penting, karena tanpa pembinaan dan penyuluhan yang benar, maka rakyat akan jadi malas.


Sekarang ini Pemerintah Aceh tidak bekerja maksimal untuk memikirkan bagaimana supaya rakyat Aceh maju dan tidak jadi rakyat yang malas.


Rakyat akan jadi malas kalau hasil kerja mereka tidak di hargai oleh pemerintah, ini sering terjadi di Aceh, harga hasil pertanian menurun sehingga petani ada yg buang hasil panen mereka. Ini dikarenakan kurangnya penyuluhan yang bagus.


Kita tahu orang Aceh suka ”buet jang meu euë euë” (ikut ikutan), padahal kalau satu tanam cabe dan yang satu tanam kentang tentu saja harga akan stabil.


Keadaan yang bergejolak sekrang ini sebenarnya tidak terlalu rumit untuk menyelesaiakannya, kalau pemangku Wali Nanggroe, Ulama, pemimpin adat dan tokoh masyarakat tau apa tugas mereka.


Dalam UUTPA (Undang Undang Tentang Pemerintah Aceh) dijelaskan, “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya.”


Jelaskan apa tugas Wali Nanggroe disini, jadi seorang Wali Nanggroe harus netral, netral berarti tidak boleh memihak, membela satu kelompok, Parpol, Parlok, individu dan tidak boleh ikut-ikutan bepolitik.


Lembaga Kepemimpinan Adat


Dalam hal ini tugasnya adalah menjaga adat, bahasa dan budaya. Sekarang ini kita lihat bagaimana adat di Aceh yang sudah tunggang langgang, lebih bangga dengan adat yang masuk daripada adat sendiri.


Bahasa


Banyak orang Aceh yang malu berbahasa Aceh baik yang dari Gayo atau yang dari Aceh Pesisir, anak-anak aceh banyak yang tidak bisa berbahas Aceh/Gayo, kononnya kalau berbahasa Aceh/gayo akan kedengaran kolot. Orang Aceh sudah banyak kehilangan mental keAcehan, ini bisa kita lihat dari mahasiswa yang di kirim oleh pemerintah Aceh melalui program Beasiswa ke luar negeri. Hampir semua dari mereka tidak mau berintegrasi dengan rakyat Aceh di tempat mereka. Karena mental keAcehannya sangat tipis.


Pemersatu Masyarakat


Melihat keadaan sekrang ini di Aceh saya sendiri sangat perihatin, kita tidak bisa menafikan/memungkiri bahwa orang Aceh sedang dalam kondisi yang tak menenetu. Ini perlu perhatian yang sangat penting aagar rakyat Aceh Aceh tidak terjebak kedalam kancah permusuhan universal, sehingga tidak akan tertutup kemungkinan perang seperti Cumbuok akan terjadi di Aceh.


Pelestarian Kehidupan


Hutan Aceh sampai saat ini masih juga di tebang, sehingga Aceh tidak lagi kelihatan indah, banyak air yang tercemar gara-gara perbuatan yg tidak bertanggung jawab ini. Akibatnya di Aceh orang kekurangan Air bersih. Kebersihan kota dan kampung, rumah sekolah dan balai adat. Dalam islam kebersihan itu setengah daripada iman, tapi kalau kita lihat keadaan kota-kota di Aceh jauh dari apa yang di ajarkan oleh agama.


Inilah tugas Wali Nanggroe. Tentu saja beliau tidak bisa kerja sendiri. Harus ada kerja sama dengan pemerintah dan rakyat Aceh. Mendatangi instansi pemerintah dan sekolah-sekolah, bersilaturrahmi dengan semua elemen masyarakat. Sayangnya sekarang ini kelihatannya, wali Naggroe berpungsi sebagai Wali PA dan KPA, tapi bukan wali Nanggroe Aceh.


Secara peribadi dan sebagai Member of GAM dan masih merasa saya anak Aceh, saya sangat menyayangkah dengan apa yang terjadi di Aceh sekarang ini, kita tau betapa mahalnmya harga perdamaian Aceh, seharusnya kita berpikir lebih dewasa ketimban memperrtikaikan hal-hal yang merugikan kita sendiri.


Aceh akan maju kalau pemerintah dan rakyat ada kommunikasi, Aceh akan maju kalau anak-anak Aceh dibekali mental keAcehan, Aceh akan maju kalau orang Aceh sudah tau bahwa dia orang Aceh, Aceh akan maju kalau orang Aceh taat akan hukum yang ada dalam Aquran, Aceh akan maju kalau penegak hukum di Aceh tau melaksanakan hukum, Aceh akan maju kalau orang Aceh mau berkeja dengan serius. Aceh akan maju kalau orang Aceh mau bersabar dan mampu menerima keritikan dari orang lain. Acah akan maju kalau orang Aceh sudah tau menghargai alam sekitar flora dan fauna.


Tidak lama lagi pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan, walaupun ada pihat yang tidak setuju dengan pelaksanaan ini, itu hanya proses berdemokrasi. Rakyat Aceh jangan mudah terpengerahu dengan kata-kata manis dan propaganda. Pilihlah pemimpin yang menurut hati kamu baik, bukan menurut kata orang lain.


Bersama kita bangun Aceh, tak usah kita membanggakan betapa hebatnya nenek moyang kita kalau kita tidak bisa berbuat seperti mereka.


Akhirnya saya minta maaf kalau ada kata-kata dalam tulisan ini yang membuat pembaca merasa tidak senang. Ini pertama kasli saya menulis jadi sekali lagi saya minta maaf atas kekurangan saya.


—-

*Pemain Teater di Jakarta (1989- 1991), Penyulih suara untuk TV Indonesia dan Studio Teknikal di Take One Production dan Film Karya Nusa SDN BHD Malaysia (1991 -1998), mendapat suaka pilitik ke Denmark. Di denmark sempat menamatkan Ilmu perfilemen di Aarhus Film Academy (1998).



Lintas gayo