“Jangan pilih #Prabowo!”
Begitulah bunyi salah satu hastag di Twitter. Ya, Prabowo yang dimaksud tak lain adalah Prabowo Subianto Djojohadikoesoemo, salah satu putra Begawan ekonomi Indonesia Soemitro Djojohadikoesoemo.
Di level nasional, penolakan pencalonan Prabowo sebagai Calon Presiden Indonesia santer terdengar. Terlebih di kalangan aktivis. Penyebabnya tak lain karena Prabowo dianggap terlibat penculikan mahasiswa menjelang turunnya Presiden Soeharto tahun 1998. Disebut dianggap, lantaran belum ada satu pun vonis pengadilan yang menyebutnya bersalah.
Namun, yang mengherankan, di tengah isu-isu penolakan itu elektabilitasnya justru melejit. Dalam beberapa hasil survei lembaga nasional, Prabowo bersaing ketat dengan Joko Widodo, politisi PDI-P yang dianggap sosok yang merakyat. Sementara nama-nama lain seperti Abu Rizalbakrie, Jusuf Kalla, Wiranto, Hatta Rajasa, Megawati Soekarnoputri dalam hasil survey malah berada di bawah Prabowo dan Jokowi.
Di tengah isu penolakan itu, dari Aceh justru muncul seruan untuk mendukung Prabowo Subianto. Dari atas podium ke podium, mantan Panglima GAM yang kini menjabat Wagub Aceh, Muzakir Manaf, menyerukan agar masyarakat Aceh memilih Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia dalam pemilihan presiden Juli mendatang.
Kontan saja seruan itu menimbulkan kontroversi. Ada apa dengan Muzakir Manaf? Begitulah pertanyaan yang sering muncul dari pihak yang mempertanyakan keputusan itu. Apakah Muzakir Manaf telah lupa sejarah? Bukankah dulu GAM berseteru dengan tentara Indonesia? Apakah mantan Panglima GAM itu telah lupa bahwa tentara Indonesia membunuh banyak orang Aceh selama 30 tahun berkonflik dengan pemerintah Indonesia? Tidakkah keputusannya bergandengan tangan dengan Prabowo akan menjadi boomerang bagi Aceh?
Tadinya, saya termasuk salah satu orang yang menyesalkan keputusan Muzakir Manaf bekerjasama dengan Prabowo. Masa sih mau bekerjasama dengan pembunuh orang Aceh? Begitu pikiran yang muncul di benak saya.
Didorong rasa penasaran, saya mencoba menelusuri sosok Prabowo. Dari mencari tahu di internet, hingga bertanya ke orang-orang dekat Muzakir Manaf. Keyakinan saya berkata, tak mungkin Muzakir Manaf tidak tahu keputusannya mendukung Prabowo dipertanyakan banyak orang di Aceh.
Tak kenal maka tak sayang. Begitulah kata orang-orang. Saya menghabiskan waktu hampir sebulan untuk mencari tahu lebih jauh tentang sosok Prabowo. Hampir semua bacaan yang saya temukan menyebutkan Prabowo adalah anak pintar dan idealis. Di sisi lain, ia tegas dan kerap marah-marah jika instruksinya tak didengar.
Sampai di sini, saya mencoba mencari perbandingannya. Siapa ya pemimpin dunia yang berhasil memajukan suatu daerah jika tidak tegas? Ingatan saya melayang ke Iskandar Muda, Sultan yang diakui membawa Aceh ke puncak kegemilangan. Para era Iskandar Muda, Aceh “menjajah” hingga ke Kedah, Johor, dan Pahang daerah di pulau seberang yang kini bergabung dalam wilayah Malaysia.
Bagaimana sih sosok Iskandar Muda sehingga mampu memperluas kekuasaannya hingga ke negeri seberang? Dari sejumlah literature, termasuk buku Dennys Lombard, saya mendapat informasi bahwa Iskandar Muda adalah sosok yang mudah marah, menerapkan hukuman tegas bagi yang bersalah –termasuk menghukum pancung anaknya sendiri karena ketahuan berzina—hingga menghabisi jika ada prajuritnya yang coba-coba lari dari medan perang. Sampai hari ini, kecuali ditemukan fakta-fakta baru, saya meyakini sikap tegas Iskandar Muda itulah yang membuat Aceh mencapai puncak kegemilangannya.
Kembali ke Prabowo. Dari sejumlah anggota Kopassus saya mendapat informasi pada masa Prabowo menjadi Danjen Kopassus-lah gaji mereka dinaikkan. Menurut cerita si Kopassus ini, Prabowo bahkan membangun Mall Cijantung lalu membagi keuntungannya untuk kesejahteraan prajurit. Namun, ia tak segan-segan menghukum prajurit yang bersalah.
Tak ingin mudah terpesona karena cerita itu, saya mencoba mencari tahu sisi kelamnya. Namanya dikait-kaitkan dengan sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua dan Aceh. Bahkan, di Aceh beredar fokopian sebuah majalah lama yang memuat wawancara Prabowo. Wawancara itu diberi judul “Tak Ada Jalan Lain Selain Operasi Militer.”
Di Aceh, wawancara itu disebar melalui dunia maya, seolah-olah Prabowo mengucapkan itu untuk Aceh. Selidik punya selidik, ternyata Prabowo berbicara dalam kasus Papua, bukan Aceh. Saya hampir saja tertipu. Untungnya, saya menolak ditipu.
Tentu saja Prabowo bukan manusia suci dalam kasus Aceh. Ketika menjadi tentara, sudah tentu tugasnya banyak bersinggungan dengan Aceh. Tapi bukankah itu dalam kapasitasnya sebagai orang militer? Justru malah aneh dan patut dipertanyakan kalau ketika itu Prabowo menjalin hubungan mesra dengan GAM dan mentolerir gerakan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Tentara macam apa itu?
Lagi pula, jika berbicara dalam konteks Aceh, siapa sih calon presiden yang tidak pernah berurusan dengan Aceh? Mari kita kupas satu persatu.
Soesilo Bambang Yudhoyono pendiri Partai Demokrat. Presiden kita ini adalah Menko Polhukam ketika Pemerintah Indonesia memberlakukan darurat militer di Aceh. Yudhoyono lah yang menyodorkan agar Megawati menandatangi Inpres pemberlakukan darurat militer di Aceh.
Ketika Aceh menandatangi perjanjian damai dengan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005, Soesilo adalah Presiden. Pada titik ini, kita harus akui, Yudhoyono punya jasa besar untuk perdamaian Aceh. Pihak GAM lantas membalasnya dengan mendukung SBY pada Pemilihan Presiden yang lalu. Hasilnya, lebih dari 90 persen orang Aceh memilih SBY.
Namun, jika ditilik lebih jauh, hampir sepuluh tahun usia perdamaian itu, hingga kini pemerintah pusat belum menepati janjinya terhadap Aceh. Padahal, janji itu telah dituang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang itu disebutkan, paling lambat dua tahun sejak diundangkan, semua aturan turunan harus sudah selesai.
Nyatanya, hingga hampir sepuluh tahun undang-undang itu berlaku, pemerintah pusat belum menuntaskan janjinya. RPP Migas dan peralihan kewenangan pertanahan kepada Pemerintah Aceh hingga kini belum tuntas. Jika kini terdengar kabar pemerintah pusat sedang menggodok dua aturan itu, jangan lupa, itu terjadi setelah Aceh bersikeras mengibarkan bendera GAM sebagai bendera Aceh. Pada titik ini, lewat bendera itu, Aceh berhasil menekan perintah Indonesia agar melunasi hutang yang tertunggak di Aceh.
Mengapa RPP Migas penting? Itulah inti dari perjanjian damai. Disitu diatur bahwa Aceh punya hak mengelola sumberdaya alamnya sendiri, tidak perlu diatur Jakarta. Yang terjadi sekarang, jika tidak disetujui Jakarta, maka Aceh tidak berdaulat atas hasil kekayaan alamnya.
RPP itu adalah mesin bagi perdamaian Aceh. Selama 9 tahun perdamaian, Aceh telah diberi mobil, tapi tanpa mesin. Bagaimana bisa berjalan? Begitulah SBY memperlakukan Aceh.
Bagaimana jika berkoalisi dengan Joko Widodo. Ingat, bos Joko Widodo adalah Megawati. Selain menyetujui darurat militer, Mega juga menyetujui perpecahan Aceh menjadi tiga provinsi. Itu artinya, bekerjasama dengan Joko Widodo sama saja ingin melihat Aceh terbelah menjadi tiga provinsi.
Mengapa tidak berkoalisi dengan Golkar saja? Saya tidak tahu persis apa yang ada dibenak Muzakir Manaf. Tapi, logika saya mengatakan, pada masa Golkar berkuasalah Aceh hancur lebur. Jadi ini tak perlu kita bahas panjang lebar. Sudah khatam!
Mengapa tidak dengan Hatta Radjasa dan PAN-nya? Ingat, Hatta Radjasa memiliki tingkat elektabilitas rendah. Tingkat keterpilihannya masih rendah. Toh, Hatta masih berpeluang menjadi Wapres-nya Prabowo.
Bagaimana dengan Wiranto dan Hanura-nya? Saya belum lupa ketika tahun 1998 Wiranto berkata,"Indonesia tidak perlu orang Aceh, Indonesia hanya perlu tanah Aceh!"
***
Setelah melihat calon-calon Presiden itu, pikiran saya mulai terbuka. Memilih bekerjasama dengan Prabowo lebih realistis. Pada akhirnya, politik memang kelihaian membaca situasi.
Selain dari sisi tingkat keterpilihan, Aceh punya kepentingan besar di tingkat nasional. Misalnya saja, memperjuangkan anggaran untuk daerah, dan membuat perundang-undangan untuk daerah, Dan itu harus diperjuangkan di DPR RI.
Selama ini Aceh memang punya banyak wakil di DPR RI. Tapi, bukankah mereka belum mampu mendorong agar aturan turunan UUPA segera diselesaikan?
Di sinilah Prabowo masuk. Dia malah membiarkan Gerindra dikelola oleh Partai Aceh yang diketuai Muzakir Manaf. Ini artinya, Partai Aceh bisa menempatkan orang-orangnya untuk maju ke DPR RI lewat Partai Gerindra. Di Gerindra Aceh, Muzakir Manaf adalah Ketua Dewan Pembina. Pada posisi ini, Ketua Gerindra Aceh, T A Khalid, bertindak atas arahan Muzakir Manaf.
Muzakir Manaf sendiri dalam beberapa kesempatan menjelaskan bahwa dirinya sudah meneken komitmen dengan Prabowo. Prabowo sendiri berjanji akan berbuat banyak untuk Aceh.
“Kita sama-sama pernah di militer. Kita sama-sama orang terpilih yang bisa berpegang pada komitmen,” begitu kata Prabowo kepada Muzakir Manaf seperti diceritakan TA Khalid kepada Atjehpost.com (Lihat: Mengapa Harus Gerindra?).
Sampai di sini, saya mencoba mencerna. Kira-kira komitmen apa ya yang dibangun? Duit? Bukankah Prabowo punya perusahaan minyak di Jordania?
Bisakah Prabowo dipercaya? Bukankah dulu Soekarno juga pernah menumpahkan air mata dan berjanji berbuat banyak untuk Aceh? Tidakkah ada kemungkinan Prabowo akan berkhianat?
Benar, kemungkinan itu tetap ada. Tetapi, jika terus menerus dihantui bayang-bayang masa lalu, kita tak akan pernah beranjak maju. Kita tidak akan pernah bisa percaya seseorang. Lagi pula, kalau saja kita baru putus cinta atau bercerai dengan seseorang, itu tidak berarti tidak akan mencari pasangan baru bukan? Kalau istilah anak muda sekarang,”come on, move on, bro!”
Yang harus dilakukan adalah menutup celah agar Prabowo tak ingkar janji. Jika perlu bikin perjanjian hitam di atas putih. Gugat ke pengadilan jika Prabowo ingkar. Itu lebih fair daripada terjebak pada bayang-bayang masa lalu.
Dari sejumlah fakta-fakta di atas, saya melihat Muzakir Manaf telah melalukan langkah cerdas dengan memilih bekerjasama dengan Prabowo. Suka tidak suka, senang tidak senang, Prabowo punya kans besar menjadi Presiden Indonesia.
Jika saja Muzakir Manaf menolak bekerja sama dengan Prabowo, lalu tiba-tiba Prabowo terpilih sebagai Presiden, dapatkah kita bayangkan apa yang akan terjadi dengan Aceh setelah itu?
Pada titik ini, saya melihat Muzakir Manaf melakukan langkah cerdas. Ia mengambil resiko dicaci oleh sebagian rakyat Aceh untuk menyelamatkan Aceh di masa mendatang jika kelak Prabowo terpilih sebagai Presiden.
Bagi saya, begitulah seharusnya seorang pemimpin. Memandang jauh ke depan, bukan malah terbelenggu dengan masa lalu.atjehtoday
Social Link