Pilpres kali ini benar-benar panas. Menghadirkan Jokowi - JK yang banyak didukung oleh “Tentara Merah Putih” dan Prabowo – Hatta yang didukung oleh “Tentara Hijau”. Dua faksi ini terus menerus bersaing selama beberapa puluh tahun untuk mendominasi yang lain. Mereka saling jegal dan menghambat antar faksi. Sebaliknya mereka saling mempermudah dan melancarkan jika pada faksi sama.
Di bagian satu diceritakan bahwa tentara Merah Putih atau nasionalis yang dimotori oleh LB Moerdani sangat intens melakukan konsolidasi dengan mengatasnamakan keselamatan bangsa dan negara (nasionalis). Soeharto yang awalnya sangat mempercayai LB Moerdani sejak penanganan pembajakan Woyla di Don Muang Thailand, berangsur-angsur menaruh curiga padanya.
Kegiatan LB Moerdani juga kerap dilaporkan oleh Prabowo kepada Soeharto yang merupakan mertuanya sendiri (waktu itu). Prabowo berada di sisi berbeda, yaitu di faksi Tentara Hijau; tentara yang menumpukan pada kekuatan Islam.
Anggota faksi itu masih ada sampai sekarang dan persaingannya masih “terpelihara”. Pilpres kali ini juga tak lepas dari persaingan dua faksi itu.
Embrio ‘Tentara Hijau’
Lama kelamaan, LB Moerdani tahu jika Prabowo memberi laporan yang tidak baik tentang dirinya kepada Presiden Soeharto. Saat itu Prabowo memang lebih dekat dengan M. Jusuf dibanding LB Moerdani, meski dia staf khususnya (1983-1985). Disini terlihat bahwa LB Moerdani salah menakar ‘orientasi ideologis’ Prabowo.
Prabowo dan teman-teman (Kivlan Zen, Ismed Yuzairi, Sjafrie Sjamsudin, Glenny Kairupan dll) sering mendiskusikan info yang didapatkan Prabowo dari berbagai perencanaan Moerdani. Di kalangan mereka sudah muncul perasaan anti LB Moerdani dan Luhut Panjaitan. Mereka merupakan embrio terbentukmya ‘Tentara Hijau’. Glenny Kairupan, meski merupakan Kristiani tapi sangat-sangat dekat dengan Prabowo sampai sekarang.
Mereka melakukan gerakan resistensi untuk mengimbangi kekuatan Moerdani. Ini yang membuat atasan langsung Prabowo di Sat-81 yaitu Luhut Panjaitan marah dan mulai tak menyukainya. Permusuhan Luhut dan Prabowo terus berlangsung sampai kejatuhan Soeharto. Luhut diidentifikasi berafiliasi dengan LB Moerdani; dua orang inilah embrio ‘TNI Merah Putih’.
Sebagai reaksi, Moerdani mengeluarkan Prabowo dari Kopassus dan dipindah menjadi Kasdim (Kepala Staf Kodim) yang merupakan jabatan teritorial. Ini sama saja dengan ‘membuang’ Prabowo yang merupakan orang lapangan. Jabatan ‘buangan’ itu menimbulkan rasa luka yang sangat dalam dan rasa tak berdaya yang sangat panjang pada diri Prabwo.
Keputusan jabatan Kasdim ini akhirnya diubah oleh Jenderal Rudini, KSAD pada 1985. Oleh Rudini, Prabowo ditempatkan menjadi Wakil Komandan Bataliyon Infanteri Lintas Udara 328, satu pasukan elit Kostrad.
Dalam perkembangannya, Tentara Hijau ini diperkuat oleh R. Hartono, Feisal Tanjung dan beberapa perwira yang mobilisasi vertikalnya dihambat faksi LB Moerdani. Di sini, pola konflik dan rivalitas M. Jusuf dan LB Moerdani muncul dan kemudian terulang lagi pada konflik dan rivalitas antara Prabowo dan Wiranto.
‘Tentara Merah Putih’
Besarnya kekuasaan LB Moerdani saat itu, membuatnya sangat bebas dalam menilai, mempengaruhi dan memberi perintah pada banyak kesatuan di Indonesia dengan dalih kesatuan dan persatuan. Beberapa pihak menyiratkan adanya de-Islamisasi di faksi ini. Nasionalisme di-klaim menjadi semangat utamanya.
Selain Luhut, LB Moerdani ternyata juga ‘ mendidik’ Sahala Rajaguguk, Sintong Panjaitan, Theo Syafei dan RR Simbolon. Jenderal lain yang dirangkul LB Moerdani adalah Agum Gumelar yang merupakan AMN 1969.
Tahun 1989, dalam perjalanan pulang dari kunjungan kenegaran ke Beograd, Yusgolavia, Presiden Soeharto berkata “ Biar Jenderal atau Menteri, bila bertindak inskonstitusional akan saya gebuk,” kata Soeharto. Kata-kata itu ditujukan kepada LB Moerdani yang mulai melancarkan isu-isu suksesi dan kabarnya akan mengkudeta Soeharto. Di baliknya ada tokoh-tokoh penandatangan Petisi 50 ; purnawirawan dan menteri. Di faksi ini juga ada Wiranto (AMN 1968) yang dianggap main mata dengan Habibie pada kerusuhan 1998.
Setelah reformasi, Faksi Merah Putih ini menjelma menjadi tentara intelektual karena mereka banyak mengecap pendidikan barat. Ini ditandai dengan adanya Agus Wijoyo, Agus Wirahadikusumah, Susilo Bambang Yudhoyono dan lain-lain. Agus Wirahadikusumah nyata-nyata diistimewakan pada jaman Wiranto menjadi Pangab.
Hebatnya, kedua faksi ini terus menerus memberi pengaruhnya kepada adik kelasnya. Yang purnawirawan tak henti-hentinya memberi pengaruh kepada TNI aktif. Mereka saling menghambat dalam karir (bagi yang beda faksi) dan saling memudahkan (bagi yang sama faksi).
Prabowo misalnya, meski dirinya dihantam stigma yang begitu berat oleh Wiranto, namun banyak anak buah yang mencintainya. Itu juga karena mereka yakin, tuduhan kepada Prabowo yang tak terbukti. Bagi anak buahnya, Prabowo sudah berbuat banyak bagi anggotanya; membuat mereka senang dan sejahtera.
Kini di Pilpres 2014, tentara di ambang persaingan dan beda pendapat lagi. Dari purnawirawan sampai tentara aktif. Faksi Merah putih di pihak Jokowi, kini digerakkan oleh Agum Gumelar karena dia ketua Pepabri (Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri), Wiranto dan Luhut Panjaitan. Disana sudah ada Adang Ruchiatna, Ryamizard Ryacudu dll. Mereka mendekat ke Megawati.
Di seberangnya, ada Prabowo dari faksi Tentara Hijau yang akan maju menjadi salah satu kandidat Presiden. Meski dengan sejarah yang menurut kaum hijau “dicederai” , mereka yakin banyak yang akan memilih dan mencintai Prabowo karena kejujuran dan ketegasannya.
Di Pilpres tahun ini, dua faksi ini bersaing keras. Jika Pilpres usai, mungkin mereka lebih bersaing lagi untuk merebutkan jabatan strategis.
Mereka terus bersaing, entah sampai kapan.. kompasiana
Posting Komentar
Blogger Facebook Disqus