Ketika Leyla memutuskan untuk mengungsi, meninggalkan kampung halamannya, perih yg melilit perutnya kian menjadi-jadi. Terlampau perihnya, hingga seluruh pandangannya terasa buram. Leyla seperti melihat ribuan kunang kunang itu sebagai sang maut. Sang maut yg selalu menguntinya & sewaktu waktu siap mengantarnya menyusul almarhum suaminya.
Di kampungnya , Baydhabo, hujan terakhir turun sekitar tiga tahun lalu. Tanah-tanah menguning menyisakan debu. Pepohonan meranggas & mati. Ternak-ternak kekurangan air & akhirnya membangkai menjadi santapan burung nasar. Pada akhirnya para penduduk lebih memilih untuk mengungsi ke kamp di Mogadishu daripada mati kelaparan.
Leyla terus melangkah, menggendong anaknya yg kering seperti boneka kayu.
Dari perkampungannya ia harus menempuh perjalanansejauh 150 kilometer dgn berjalan kaki untuk sampai di Mogadishu. Tapi, itu tak masalah. Ia takkan putus harapan. Bahkan, ia tak peduli pada sang maut yg sudah sangat dekat mengintai, di atas kepalanya. Lapar memang. Dahaga memang. Terik memang. Tersengal memang. Tapi, setidaknya, jika harus mati, ia tidak akan mati sia-sia. Ia mati dalam jihad, jihad mempertahankan dua nyawa, nyawa anaknya yg masih lima tahun, & nyawanya sendiri.
Bagi Leyla, Mogadishu adalah satu satunya muara untuk mempertahankan arus hidupnya yg kerontang. Konon, di Mogadishu ada kamp yg menampung orang-orang kelaparan. Disana panitia menyediakan air, makanan, kemah, juga toilet. Bersama puluhan penduduk lannya, Leyla berjalan terseok seperti pendaki gunung yg kehabisan tenaga sebelum sampai puncaknya. Sementara itu, matahari terus membara, rasanya seperti diatas kepala. Dari tubuh-tubuh pekat itu bercucuran keringat. Leyla masih berjalan tersengal. Dalam gendongannya, si kecil terus menangis menahan lapar. Diantara cucuran keringat, Leyla pun mencucurkan air mata. Asin.
“ Sebentar lagi sampai, nak,” bisiknya hampir tak terdengar. Di belakang punggungnya, si kecil masih terus menangis. Sudah lima kali ia menyaksikan orang-orang ambruk di tengah jalan. Seorang anak kecil menempel dalam gendongan ibunya yg meringkuk di tanah. Perempuan renta yg menggelosor ditanah membara, matanya melebar menahan lapar. Seorang lelaki tua yg memilih diam & mati karena sudah tidak memiliki sisa tenaga. Leyla menyaksikan semua itu, miris, tapi ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Mengingat kunang-kunang masih mengitari penglihatannya, beberapa menit berikutnya bisa saja ia yg ambruk, dan segeralah anaknya yg menjadi yatim piatu.
***
Leyla paham maut bisa sangat dekat dan menjelma menjadi apa saja, termasuk lapar. Di perkampungan tempat ia tinggal, lapar telah membunuh puluhan orang, tak pandang bulu dan usia. Semenjak perang saudara meletus dan mesiu bisa meledak dimana saja dan kapan saja tanpa terduga, di tambah bencana kekeringan yg tidak berkesudahan, perkampungan tempatnya tinggalnya tak ubahnya neraka. Tak ada lagi harapan hidup di sana. Sang maut telah membaluri kampung itu dgn rasa khawatir dan rasa lapar yg begitu mengerikan. Satu-satunya harapan hidup adalah Mogadishu.
Dengan harapan-harapan yg memuncak, Leyla terus menapakkan telapak kakinya yg sudah mati rasa. Tiba-tiba Leyla membayangkan, barangkali di padang mahsyar keadaannya tak jauh berbeda. Panas. Lapar. Dahaga. Membayangkan itu, perut Leyla kian panas melilit. Ia tak heran jika anaknya menangis tak henti-henti. Di atas kepalanya, kunang-kunang yg ia sebut sebagai jelmaan sang maut itu masih menari-nari. Ketika mengerjapkan mata, Leyla seperti berada di sebuah tempat yg gerah dgn lampu disco yg benderang dan berkilat-kilat. Hampir saja ia ambruk oleh silaunya.
‘Mogadishu, Mogadishu , kita sampai,” selintas teriakan itu membuyarkan pikirannya.
Leyla seperti terbangun dari igauan. Di sela kilauan bara matahari, sambil mengerjap-ngerjapkan mata, Leyla bisa melihat puluhan atau mungkin ratusan kemah berjajar dihadapnnya. Tak seperti yg ia bayangkan. Kemah itu tak lebih bagus dari gubuk tempat tinggalnya.
Kemah-kemah itu menggunduk serupa rumah keong. Ranting-ranting kayu, kain, dan plastik-plastik bekas tersampir sembarangan di atasnya. Leyla membayangkan betapa panasnya berada dalam rumah keong itu. Pasti rasanya seperti dalam tungku. Tapi tak apa, di sini masih ada harapan hidup, pikirnya. Leyla berlari kecil, menyongsong perkemahan itu. Ia menyaksikan puluhan orang tengah meringkuk tak berdaya dalam kemah-kemah lusuh itu. Beberapa anak memainkan piring kosong yg terbuat dari kaleng bekas di depan pintu, beberapa yg lain mengisi panci-panci kosong dgn butiran debu. Di tempat lain, Leyla menyaksikan seorang lelaki kurus sedang menggali tanah. Di sebelahnya, jasad seorang bocah terbujur, matanya mendelik, tulang dan rangka menyembul diantara kulit yg menghitam, mirip janin yg hangus. Bau tak sedap menyeruak. Lalat beterbangan. Leyla merinding, lapar benar-benar bisa lebih kejam dari yg ia bayangkan. Ia melirik anaknya yg sedang tertidur di punggungnya. Ia lega meski hatinya sesak tak terkata.
***
Karena persediaan makanan tak lebih banyak dari warga yg kelaparan maka orang-orang harus mengantre untuk mendapatkan jatahnya. Mereka akan mengantri tiga hari sekali. Oh…. Untuk sepiring bubur, penantian tiga hari akan terasa sangat lama. Bahkan, untuk mengantre makanan itu beberaoa orang harus bertaruh nyawa. Kepala Leyla berdenyut membayangkan itu semua. Kunang-kunang yg mengitari kepalanya kian beringas berlesatan membaluri tubuhnya. “Apa aku akan segera mati?” tanyanya dalam hati.
Sekilas ia melirik anaknya yg teronggok lemas dalam pangkuannya. Leyla tahu mengapa anak itu sudah tidak menangis lagi. Lapar membuatnya kehabisan daya, bahkan untuk menangis. Jatahnya mengantre masih dua hari lagi, ia tak yakin anaknya bisa bertahan dari maut. Kunang-kunang yg semula berlesatan di antara kepalanya kini berhamburan membaluri tubuh kering anaknya. Leyla paham itu alamat apa. Sambil menangis, Leyla bangkit dari duduknya. Di dekapnya bocah kecil yg kerontang itu erat-erat. Ia berlari, menyeruak antrean orang-orang yg membawa panci.
“Hei, nyonya, kau harus mengantre,” kata seorang pria kurus yg mengenakan jubah lusuh.
“Tolong, anak saya kelaparan, tolong!” Leyla memelas.
Kita semua disini kelaparan. Tapi, tetap saja kita harus mengindahkan peraturan. Kita semua disini mengantre. Kau pun harus mengantre.”
“Tapi, jatah antrean saya masih dua hari lagi, saya takut….”
”Anda bukan orang pertama yg mengatakan itu,” tandas lelaki itu.
Antrean terus berjalan ke depan. Leyla merengek kesana kemari untuk mendapat belas kasihan. Namun, sungguh Leyla tak menyalahkan siapapun jika pada akhirnya ia harus pasrah menyerahkan anaknya pada sang maut. Ia bukan satu-satunya orang yg mengalami itu. Leyla terhuyung meninggalkan deret antrean. Ia menatap anaknya sekali lagi. Napas anak itu terdengar ngik-ngik. Matanya membelalak dan berair. Ia menatap anaknya dgn tatapan sesal.
Leyla tertunduk, terduduk dalam kemah yg membara. Ia menyaksikan kunang-kunang itu berputar-putar di kepala anaknya, di tubuh anak nya. Ia menatap mata lebar itu tanpa henti. Keringatnya bercucuran. Air matanya bercucuran. Jika kau harus pergi, pergilah, nak. Mungkin di sana lebih baik. Konon di sana ada banyak pepohonan dan sungai. Di sana tak ada matahari yg membakar. Di sana akan banyak sekali makanan. Pergilah, jika kau harus pergi, Nak.
Perlahan, Leyla menyaksikan tubuh anaknya mengejang. Perlahan, mata yg terbelalak itu mengatup. Seperti bayi yg mengantuk usai tertawa panjang. Leyla mereng-kuh tubuh anaknya lebih erat. Aroma kema-tian begitu lekat. Leyla mengguncang-guncangkan tubuh anaknya. Di dengarnya sendi-sendi kecil itu beradu, bergemeretak, seperti boneka kayu. Leyla tak percaya anaknya pernah hidup. Pernah tertawa bersamanya. Pernah memanggilnya “Ma”. Leyla tak bisa menahan air matanya. Ia juga heran mengapa air matanya tak jua habis. Barangkali suatu saat Ia bisa meminumnya tak kala dahaga.
***
Leyla melangkah keluar dari dalam kemah. Matahari begitu jalang. Leyla teringat pada lelaki yg beberapa waktu lalu menggali tanah untuk mengubur jasad anaknya. Tampaknya Ia harus melakukan hal yg sama. Leyla mengamati tanah lapang di sekitar kemah. Ada beberapa gundukan yg Ia yakini sebagai makam. Dengan sebuah sekop yg tergantung di dinding kemah, Leyla mulai membuat galian. Jasad anaknya yg sudah beku Ia letakkan disebelahnya. Lalat mulai menguing berdatangan. Rasa lapar yg menyengat perutnya tiba-tiba hilang. Atau barangkali Ia sudah tidak memikirkannya lagi. Leyla baru tahu bahwa ternyata kesedihan bisa menghilangkan rasa lapar.
Leyla terus menggali meski sendi-sendinya terasa hampir lumpuh. Di bopongnya sendiri jasad anaknya yg meranggas. Di letakkannya jasad itu di lubang galian yg tak terlalu dalam. Tanpa kafan. Tanpa apapun. Ketika Leyla menimbun jasad kering itu dengan tanah, perasaannya teraduk-aduk. Rasanya seperti tak ada lagi sesuatu yg harus Ia pertahankan.
Beberapa orang hanya termangu menyaksikan Leyla berjibaku dengan debu, keringat, dan air mata. Tentu ini bukan pemandangan baru. Di Baydhabo ataupun di Mogadishu sama saja, setiap orang bisa saja mati karena kelaparan. Leyla hanya tinggal menunggu kapan sang maut benar-benar merengkuhnya.
Siang berjalan sangat lamban seperti sebuah adegan kehidupan yg dilambatkan. Di depan kemahnya, Leyla terduduk lemas menggenggam sebuah panci yg tak pernah terisi. Dari sela-sela kemah yg butut itu, di kejauhan Leyla melihat ratusan atau mungkin ribuan orang berjajar memanjang membentuk antrean. Leyla membayangkan sesuatu bahwa sesungguhnya orang-orang itu sedang mengantre maut.
Dengan mata terpicing, Leyla terus menyaksikan antrean itu bergerak maju. Entah mengapa Leyla tak tertarik untuk ikut mengantre meski hari ini ia mendapat jatah antrean. Rasa lapar yg semula membakar perutnya perlahan-lahan mereda. Leyla tersenyum. Ia benar-benar merasa bahwa tak ada lagi yg perlu ia pertahankan. Leyla terus memperhatikan antrean itu dari kejauhan. Ia membayangkan, mungkin kini anak dan suaminya sedang berteduh di suatu tempat sambil menyantap nasi samin dan kurma muda.
Leyla kembali tersenyum ketika kunang-kunang itu kembali berkelebat dan berputar-putar di atas kepalanya sembari menyebut ASMA ALLAH untuk yg terakhir kalinya.
Disadur dari Islam digest Republika
Di kampungnya , Baydhabo, hujan terakhir turun sekitar tiga tahun lalu. Tanah-tanah menguning menyisakan debu. Pepohonan meranggas & mati. Ternak-ternak kekurangan air & akhirnya membangkai menjadi santapan burung nasar. Pada akhirnya para penduduk lebih memilih untuk mengungsi ke kamp di Mogadishu daripada mati kelaparan.
Leyla terus melangkah, menggendong anaknya yg kering seperti boneka kayu.
Dari perkampungannya ia harus menempuh perjalanansejauh 150 kilometer dgn berjalan kaki untuk sampai di Mogadishu. Tapi, itu tak masalah. Ia takkan putus harapan. Bahkan, ia tak peduli pada sang maut yg sudah sangat dekat mengintai, di atas kepalanya. Lapar memang. Dahaga memang. Terik memang. Tersengal memang. Tapi, setidaknya, jika harus mati, ia tidak akan mati sia-sia. Ia mati dalam jihad, jihad mempertahankan dua nyawa, nyawa anaknya yg masih lima tahun, & nyawanya sendiri.
Bagi Leyla, Mogadishu adalah satu satunya muara untuk mempertahankan arus hidupnya yg kerontang. Konon, di Mogadishu ada kamp yg menampung orang-orang kelaparan. Disana panitia menyediakan air, makanan, kemah, juga toilet. Bersama puluhan penduduk lannya, Leyla berjalan terseok seperti pendaki gunung yg kehabisan tenaga sebelum sampai puncaknya. Sementara itu, matahari terus membara, rasanya seperti diatas kepala. Dari tubuh-tubuh pekat itu bercucuran keringat. Leyla masih berjalan tersengal. Dalam gendongannya, si kecil terus menangis menahan lapar. Diantara cucuran keringat, Leyla pun mencucurkan air mata. Asin.
“ Sebentar lagi sampai, nak,” bisiknya hampir tak terdengar. Di belakang punggungnya, si kecil masih terus menangis. Sudah lima kali ia menyaksikan orang-orang ambruk di tengah jalan. Seorang anak kecil menempel dalam gendongan ibunya yg meringkuk di tanah. Perempuan renta yg menggelosor ditanah membara, matanya melebar menahan lapar. Seorang lelaki tua yg memilih diam & mati karena sudah tidak memiliki sisa tenaga. Leyla menyaksikan semua itu, miris, tapi ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Mengingat kunang-kunang masih mengitari penglihatannya, beberapa menit berikutnya bisa saja ia yg ambruk, dan segeralah anaknya yg menjadi yatim piatu.
***
Leyla paham maut bisa sangat dekat dan menjelma menjadi apa saja, termasuk lapar. Di perkampungan tempat ia tinggal, lapar telah membunuh puluhan orang, tak pandang bulu dan usia. Semenjak perang saudara meletus dan mesiu bisa meledak dimana saja dan kapan saja tanpa terduga, di tambah bencana kekeringan yg tidak berkesudahan, perkampungan tempatnya tinggalnya tak ubahnya neraka. Tak ada lagi harapan hidup di sana. Sang maut telah membaluri kampung itu dgn rasa khawatir dan rasa lapar yg begitu mengerikan. Satu-satunya harapan hidup adalah Mogadishu.
Dengan harapan-harapan yg memuncak, Leyla terus menapakkan telapak kakinya yg sudah mati rasa. Tiba-tiba Leyla membayangkan, barangkali di padang mahsyar keadaannya tak jauh berbeda. Panas. Lapar. Dahaga. Membayangkan itu, perut Leyla kian panas melilit. Ia tak heran jika anaknya menangis tak henti-henti. Di atas kepalanya, kunang-kunang yg ia sebut sebagai jelmaan sang maut itu masih menari-nari. Ketika mengerjapkan mata, Leyla seperti berada di sebuah tempat yg gerah dgn lampu disco yg benderang dan berkilat-kilat. Hampir saja ia ambruk oleh silaunya.
‘Mogadishu, Mogadishu , kita sampai,” selintas teriakan itu membuyarkan pikirannya.
Leyla seperti terbangun dari igauan. Di sela kilauan bara matahari, sambil mengerjap-ngerjapkan mata, Leyla bisa melihat puluhan atau mungkin ratusan kemah berjajar dihadapnnya. Tak seperti yg ia bayangkan. Kemah itu tak lebih bagus dari gubuk tempat tinggalnya.
Kemah-kemah itu menggunduk serupa rumah keong. Ranting-ranting kayu, kain, dan plastik-plastik bekas tersampir sembarangan di atasnya. Leyla membayangkan betapa panasnya berada dalam rumah keong itu. Pasti rasanya seperti dalam tungku. Tapi tak apa, di sini masih ada harapan hidup, pikirnya. Leyla berlari kecil, menyongsong perkemahan itu. Ia menyaksikan puluhan orang tengah meringkuk tak berdaya dalam kemah-kemah lusuh itu. Beberapa anak memainkan piring kosong yg terbuat dari kaleng bekas di depan pintu, beberapa yg lain mengisi panci-panci kosong dgn butiran debu. Di tempat lain, Leyla menyaksikan seorang lelaki kurus sedang menggali tanah. Di sebelahnya, jasad seorang bocah terbujur, matanya mendelik, tulang dan rangka menyembul diantara kulit yg menghitam, mirip janin yg hangus. Bau tak sedap menyeruak. Lalat beterbangan. Leyla merinding, lapar benar-benar bisa lebih kejam dari yg ia bayangkan. Ia melirik anaknya yg sedang tertidur di punggungnya. Ia lega meski hatinya sesak tak terkata.
***
Karena persediaan makanan tak lebih banyak dari warga yg kelaparan maka orang-orang harus mengantre untuk mendapatkan jatahnya. Mereka akan mengantri tiga hari sekali. Oh…. Untuk sepiring bubur, penantian tiga hari akan terasa sangat lama. Bahkan, untuk mengantre makanan itu beberaoa orang harus bertaruh nyawa. Kepala Leyla berdenyut membayangkan itu semua. Kunang-kunang yg mengitari kepalanya kian beringas berlesatan membaluri tubuhnya. “Apa aku akan segera mati?” tanyanya dalam hati.
Sekilas ia melirik anaknya yg teronggok lemas dalam pangkuannya. Leyla tahu mengapa anak itu sudah tidak menangis lagi. Lapar membuatnya kehabisan daya, bahkan untuk menangis. Jatahnya mengantre masih dua hari lagi, ia tak yakin anaknya bisa bertahan dari maut. Kunang-kunang yg semula berlesatan di antara kepalanya kini berhamburan membaluri tubuh kering anaknya. Leyla paham itu alamat apa. Sambil menangis, Leyla bangkit dari duduknya. Di dekapnya bocah kecil yg kerontang itu erat-erat. Ia berlari, menyeruak antrean orang-orang yg membawa panci.
“Hei, nyonya, kau harus mengantre,” kata seorang pria kurus yg mengenakan jubah lusuh.
“Tolong, anak saya kelaparan, tolong!” Leyla memelas.
Kita semua disini kelaparan. Tapi, tetap saja kita harus mengindahkan peraturan. Kita semua disini mengantre. Kau pun harus mengantre.”
“Tapi, jatah antrean saya masih dua hari lagi, saya takut….”
”Anda bukan orang pertama yg mengatakan itu,” tandas lelaki itu.
Antrean terus berjalan ke depan. Leyla merengek kesana kemari untuk mendapat belas kasihan. Namun, sungguh Leyla tak menyalahkan siapapun jika pada akhirnya ia harus pasrah menyerahkan anaknya pada sang maut. Ia bukan satu-satunya orang yg mengalami itu. Leyla terhuyung meninggalkan deret antrean. Ia menatap anaknya sekali lagi. Napas anak itu terdengar ngik-ngik. Matanya membelalak dan berair. Ia menatap anaknya dgn tatapan sesal.
Leyla tertunduk, terduduk dalam kemah yg membara. Ia menyaksikan kunang-kunang itu berputar-putar di kepala anaknya, di tubuh anak nya. Ia menatap mata lebar itu tanpa henti. Keringatnya bercucuran. Air matanya bercucuran. Jika kau harus pergi, pergilah, nak. Mungkin di sana lebih baik. Konon di sana ada banyak pepohonan dan sungai. Di sana tak ada matahari yg membakar. Di sana akan banyak sekali makanan. Pergilah, jika kau harus pergi, Nak.
Perlahan, Leyla menyaksikan tubuh anaknya mengejang. Perlahan, mata yg terbelalak itu mengatup. Seperti bayi yg mengantuk usai tertawa panjang. Leyla mereng-kuh tubuh anaknya lebih erat. Aroma kema-tian begitu lekat. Leyla mengguncang-guncangkan tubuh anaknya. Di dengarnya sendi-sendi kecil itu beradu, bergemeretak, seperti boneka kayu. Leyla tak percaya anaknya pernah hidup. Pernah tertawa bersamanya. Pernah memanggilnya “Ma”. Leyla tak bisa menahan air matanya. Ia juga heran mengapa air matanya tak jua habis. Barangkali suatu saat Ia bisa meminumnya tak kala dahaga.
***
Leyla melangkah keluar dari dalam kemah. Matahari begitu jalang. Leyla teringat pada lelaki yg beberapa waktu lalu menggali tanah untuk mengubur jasad anaknya. Tampaknya Ia harus melakukan hal yg sama. Leyla mengamati tanah lapang di sekitar kemah. Ada beberapa gundukan yg Ia yakini sebagai makam. Dengan sebuah sekop yg tergantung di dinding kemah, Leyla mulai membuat galian. Jasad anaknya yg sudah beku Ia letakkan disebelahnya. Lalat mulai menguing berdatangan. Rasa lapar yg menyengat perutnya tiba-tiba hilang. Atau barangkali Ia sudah tidak memikirkannya lagi. Leyla baru tahu bahwa ternyata kesedihan bisa menghilangkan rasa lapar.
Leyla terus menggali meski sendi-sendinya terasa hampir lumpuh. Di bopongnya sendiri jasad anaknya yg meranggas. Di letakkannya jasad itu di lubang galian yg tak terlalu dalam. Tanpa kafan. Tanpa apapun. Ketika Leyla menimbun jasad kering itu dengan tanah, perasaannya teraduk-aduk. Rasanya seperti tak ada lagi sesuatu yg harus Ia pertahankan.
Beberapa orang hanya termangu menyaksikan Leyla berjibaku dengan debu, keringat, dan air mata. Tentu ini bukan pemandangan baru. Di Baydhabo ataupun di Mogadishu sama saja, setiap orang bisa saja mati karena kelaparan. Leyla hanya tinggal menunggu kapan sang maut benar-benar merengkuhnya.
Siang berjalan sangat lamban seperti sebuah adegan kehidupan yg dilambatkan. Di depan kemahnya, Leyla terduduk lemas menggenggam sebuah panci yg tak pernah terisi. Dari sela-sela kemah yg butut itu, di kejauhan Leyla melihat ratusan atau mungkin ribuan orang berjajar memanjang membentuk antrean. Leyla membayangkan sesuatu bahwa sesungguhnya orang-orang itu sedang mengantre maut.
Dengan mata terpicing, Leyla terus menyaksikan antrean itu bergerak maju. Entah mengapa Leyla tak tertarik untuk ikut mengantre meski hari ini ia mendapat jatah antrean. Rasa lapar yg semula membakar perutnya perlahan-lahan mereda. Leyla tersenyum. Ia benar-benar merasa bahwa tak ada lagi yg perlu ia pertahankan. Leyla terus memperhatikan antrean itu dari kejauhan. Ia membayangkan, mungkin kini anak dan suaminya sedang berteduh di suatu tempat sambil menyantap nasi samin dan kurma muda.
Leyla kembali tersenyum ketika kunang-kunang itu kembali berkelebat dan berputar-putar di atas kepalanya sembari menyebut ASMA ALLAH untuk yg terakhir kalinya.
Disadur dari Islam digest Republika
Social Link