GAZA CITY - Motasem A.Dalloul mengatakan pesawat tempur Zionis-Israel tidak pernah meninggalkan langit Jalur Gaza, bahkan pada saat gencatan senjata, tuturnya.
Hampir setiap hari pesawat tak berawak (drone) atau jet tempur terus terbang di atas kepala mereka. Dari waktu ke waktu pesawat ini menargetkan lahan prtanian, pabrik, bengkel dan rumah-rumah penduduk Gaza.
Muslim di Jalur Gaza menjadi terbiasa dengan suara deru pesawat tempur Zionis, dan serangan mereka. Jadi semuanya menjadi normal bagi kehidupan mereka di Gaza. Tak ada lagi yang menakutkan dengan perang.
Namun, di rumah saya, situasinya berbeda. Setiap kali istri dan sembilan anak saya mendengar suara pesawat tempur Israel, membuat mereka langsung kaget. Mereka memiliki pengalaman buruk tentang suara pesawat tempur Zionis itu.
Dalam invasi perang Israel di Jalur Gaza, pesawat tempur Israel telah tujuh kali menyerang rumah, lahan pertanian dan peternakan sapi perah saya. Setiap kali serangan oleh pesawat tempur Zionis ini sering menghancurkan rumah saya. Istri, anak-anak dan keluarga saudara-saudara saya, yang tinggal apartemen, dan di gedung yang sama seperti saya, kadang sangat terkejut dan juga terluka.
Pertama kali pesawat tempur Israel menyerang rumah dan peternakan sapi perah saya saat invasi militer Israel tahun 2008/2009. Tiga hari dalam perang, ketika pendudukan Israel telah membunuh lebih dari 600 warga Palestina dan melukai lebih dari 1.500 Muslim Gaza.
Tentara pendudukan Zionis-Israel menelepon kakak tertua saya pada siang hari, dan meminta agar mengevakuasi seluruh kelurga yang ada dalam bangunan itu, dan hanya diberi waktu lima menit.
Segera, lebih dari 60 warga Muslim, sembilan anggota keluarga saya dan tujuh saudara-saudara saya, meninggalkan dua bangunan yang berdekatan, salah satu yang termasuk peternakan sapi perah di lantai pertama. Kita tak bisa mengambil apa-apa, bahkan tidak pakaian dan dokumen penting, dari rumah kami. Dalam waktu kurang dari setengah menit, kami, sekitar 60 anggota keluarga, menjadi tunawisma.
Kemudian, beberapa bulan saya membangun kembali rumah dengan peternakan sapi perah sekitar 50 meter dari rumah saya. Saya mulai bekerja di peternakan sapi perah. Suatu malam di bulan April 2010 saya dan istri, dan semua anak pergi ke rumah nenek mereka. Saya tidur sendirian di rumah. Hanya satu jam setelah saya pergi tidur, saya bangun karena terkejut oleh suara ledakan dahsyat yang membuat lubang besar di dapur apartemen saya, yang berada di lantai tiga.
Lubang besar di langit-langit kamar anak-anak saya, dan lubang besar lainnya di ruang tamu. Saya melihat dari jendela menemukan roket dari pesawat F16 telah meratakan peternakan sapi perah yang baru dibangun.
Masalahnya adalah anak-anak menolak kembali ke rumah, setelah saya memperbaiki apartemen. Mereka mengatakan kepada saya agar membangun pertanian yang lebih jauh. Itu sulit. Tetapi pada akhirnya saya memenuhi permintaan mereka dan telah dibangun di Khan Younis, di bagian selatan Jalur Gaza. Bahkan, saya tidak tahu mengapa pendudukan Israel menyerang rumah dan pertanian beberapa kali.
Setelah seorang wartawan Maltese bertanya mengapa pesawat tempur Israel menyerang rumah dan peternakan sapi perah saya. Saya mengatakan kepadanya bahwa ia harus meminta keterangan kepada para penyerang yang melakukannya.
Dia menjawab, "Mereka mengatakan menyerang pabrik roket." Bahkan, jawabannya mengejutkan saya, karena setiap kali media massa meliput serangan dan melaporkan apa yang mereka lihat hanya ada puing-puing dan keju dan yoghurt dan mesin yoghurt.
Setelah ketiga, keempat dan kelima kalinya pesawat tempur Israel menyerang peternakan sapi perah saya di Khan Younis, mereka menyerang toko pertanian saya di Deirul-Balah di tengah Jalur Gaza, hanya beberapa bulan kemudian. Tidak ada korban manusia dari serangan itu, tetapi bangunan dan mesin yoghurt itu hancur.
Saya membangun kembali peternakan sapi perah di samping rumah saya dan meninggalkan Jalur Gaza pada 2011, saya mengambil master di bidang jurnalisme internasional di London. Saya meninggalkan kakak sulung yang menjalankan pertanian.
Pada Juli 2012, saya menerima telepon dari keluarga, dan mengatakan bahwa peternakan telah diserang dan sebagian besar anggota keluarga menderita shock dan panik, akibat serangan yang dahsyat dari jet tempur Israel. Saya kembali pada bulan Oktober untuk membangun kembali rumah saya.
Sekarang masalahnya semakin parah dan setiap kali anak-anak saya mendengar suara pesawat tempur Israel mereka menangis, menjerit atau berlari ke arah saya atau ibu mereka. Setiap kali mereka mendengar suara sebuah pesawat perang Israel mereka merasa mereka akan mati.
Dua minggu sebelum invasi Zionis-Israel, dan perang Israel besar-besaran di Gaza, sebuah F16 Israel menyerang sebuah peternakan dekat rumah saya.
Semua jendela dan pintu rumah saya hancur dan kaca jendela kamar anak saya ikut hancur, dan putri sulung dan putri bungsu saya 11 bulan luka ringan. Luka itu tidak masalah, tapi panik dan memiliki efek psikologis yang sangat dalam.
Dengan berita perang yang terus setiap hari itu, anak-anak saya tidak berani tidur di kamar mereka. Saya dan istri diwajibkan untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin di rumah dan kami tidur di aula apartemen dan anak-anak di berada sekitar kita.
Sebelum perang dimulai, beberapa serangan F16 menyerang peternakan di sekitar rumah saya dan meninggalkan seluruh bangunan berlantai tiga dari enam apartemen tanpa jendela atau pintu. Anak-anak saya tidak tidur dan gejala gangguan saraf mulai muncul di wajah mereka dan dalam tindakan mereka.
Pada hari ketiga perang, pendudukan Israel menelepon saya pada malam hari dan mengatakan kepada saya bahwa mereka ingin menghancurkan rumah kakakku, yang berdekatan dengan gedung kami. Mereka memberi kami hanya lima menit. Kami bergegas dan meninggalkan rumah dan mereka menyerang rumah saya. Kita tidak tahu ke mana harus pergi pada malam hari, tapi tetangga kami menampung kami sampai hari berikutnya.
Beberapa hari kemudian pendudukan Israel menelepon istri saya pada malam hari sementara dia tinggal di tempat ayahnya. Mereka bilang mereka ingin menghancurkan rumah kakakku. Mereka tidak memberi kami lebih dari lima menit dan menyerang dengan dua roket peringatan. Mereka tidak benar-benar menghancurkan rumah nya, tapi itu sangat tidak layak huni.
Dua hari kemudian saya berada di kantor melaporkan tentang perang. Adik saya menelepon memberitahu bahwa anak sulung saya tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Saya pergi cepat ke rumah kakak saya, dan menemukannya dalam kondisi yang buruk. Saya membawanya ke rumah sakit dan dia telah dirawat. Para dokter mengatakan kepada saya dia memiliki gangguan saraf dan ia telah kehilangan kemampuan berbicara dan ingatannya. Sekarang dia hampir membaik, tapi kami masih terpisah dari si sulung.
Istri saya dan sejumlah anak-anak saya tinggal dengan nenek mereka, saya tinggal dengan teman saya, anak sulung saya yang tinggal dengan pamannya dan anak kedua saya tinggal dengan bibinya.
Setiap hari saya menghadapi banyak kesulitan mengirim mereka makanan. Kemarin istri dan anak-anak saya terjebak di bawah artileri penembakan karena mereka tinggal dengan nenek mereka di dekat perbatasan timur kota Gaza.
Mereka pindah ke tempat lain dan sementara saya menulis bagian tulisan ini, istri saya memanggil dan meminta saya menemukan tempat yang lebih aman untuk tinggal, tapi sayangnya, saya belum menemukan tempat yang aman di mana pun di Gaza.
Hal ini, ceritanya sama dengan yang dialami oleh tujuh saudara-saudara saya dan keluarga mereka. Sekarang saya tidak tahu di mana mereka berada. Saya tidak tahu apa-apa tentang mereka, tentang anak-anak mereka atau istrinya. Komunikasi menjadi terlalu sulit dan putus. Tidak ada lagi komunikasi.
Akibat invasi Zionis-Israel ini, segala kehidupan di Gaza, bertambah sulit. Tetapi, tidak menjadikan mereka menyerah. "Kami akan terus bertahan dalam perang melawan Zionis-Israel, sampai kami dapat mengalahkan mereka", tutur Motasem. Hidup mulia atau mati syahid. Wallahu'alam*voa-i
Posting Komentar
Blogger Facebook Disqus