Kawasan permukiman di Luar Batang, Jakarta Utara. foto:Rol |
Menghadapi rencana penggusuran kawasan Luar Batang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, tokoh masyarakat setempat, Mansur Amin mengatakan, pemerintah seharusnya mampu memberikan solusi peningkatan kualitas seluruh kampung di Jakarta secara partisipatif dan tanpa penggusuran.
Menurut dia, program kampung deret yang pernah digulirkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semasa masih menjabat gubernur DKI Jakarta dulu sebenarnya bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah permukiman di ibu kota.
“Untuk itu, kami mendesak pemerintah pusat untuk membantu hak kepemilikan masyarakat atas tanahnya dan melindungi Kampung Luar Batang agar tidak lagi diancam oleh penggusuran, pencaplokan, dan penyingkiran oleh para pemodal raksasa,” ujar Mansur kepada Republika.co.id, belum lama ini.
Jika ditelusuri dari sisi sejarah, kata dia, Kampung Luar Batang adalah salah satu permukiman tertua di Jakarta. Beberapa studi menunjukkan, keberadaan kampung tersebut setidaknya sudah ada sejak 1630.
Masjid Jami’ Keramat Luar Batang yang didirikan sejak abad ke-18 sampai sekarang terus menarik pengunjung setiap tahunnya. Tidak hanya dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dari mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hadramaut, dan bahkan Amerika.
Ia mengungkapkan, Kampung Luar Batang memiliki nilai warisan budaya yang tinggi, karena berada di dalam kesatuan Kawasan Zona 1 Kota Tua Jakarta. Tambahan lagi, saat ini Kota Tua Jakarta sedang diperjuangkan agar dapat meraih World Heritage dari UNESCO. Oleh karenanya, penggusuran dan pembongkaran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta merupakan tindakan yang sungguh kontradiktif.
Mansur berpendapat, rencana pembangunan plaza dan sejumlah proyek lain yang dibiayai oleh perusahaan-perusahaan pengembang raksasa dapat merusak tatanan harmoni dan morfologi kampung yang unik di Luar Batang. Menurut dia, hal itu sama saja menghancurkan akar sejarah, sosial, budaya, dan akar keagamaan masyarakat yang sudah tertanam di kawasan tersebut.(Rol)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Akankah Jakarta Bernasib Seperti Singapura ?
Gado-gado ide untuk gerakan Jihad Politik ditanah Betawi.
Oleh :Drs. Alfian Tanjung M.Pd
Wakil Ketua Komite Dakwah Khusus MUI Pusat
Akankah Jakarta Seperti Singapura ?
Ketika Singapura merdeka, presiden pertamanya adalah Dr. Mohd.Yusuf dan Perdana Menterinya adalah Lee Kuan Yew. Seperti negara-negara yang sedang berkembang lainnya, Singapura miskin dan kumuh.
Pada waktu itu, PM Lee memperkenalkan konsep meritocracy (Filosofi politik yang berpandangan bahwa kekuatan/kekuasaan harus dipegang oleh individu berdasarkan prestasi). Jika Singapura ingin maju,maka hendaknya warga Singapura lebih mengutamakan pemimpin yang cakap tanpa harus melihat latar belakang ras, dan agamanya. Rupanya konsep tersebut diterima masyarakat Singapura. Karena ras Tionghoa dominan dalam ekonomi dan pendidikan, maka warga negara Singapura keturunan Tionghoa lebih dominan di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Sebaliknya, ras Melayu semakin pudar perannya. Bahkan pada sekitar tahun 1975, pemerintah Singapura menghapuskan pelajaran bahasa dan kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah Singapura. Bahasa yang diwajibkan pemerintah disekolah adalah bahasa Inggris atau bahasa Mandarin. Dengan demikian,ras Melayu semakin terpojok.
Beberapa pengamat melayu, seperti Hamka,mulai mempersoalkan hal ini. Namun, Hamka harus menelan pil pahit karena beliau tidak diperkenankan masuk Singapura. Kota Singapura tadinya didiami banyak penduduk Melayu. Kediaman penduduk Melayu didapatkan hampir di seluruh Singapura. Namun, pemerintah Singapura kemudian menerapkan pajak tanah yang tinggi sehingga banyak penduduk Melayu yang tak mampu membayar pajak dan terpaksa menjual tanahnya kepada orang yang lebih mampu,yaitu etnis Tionghoa. Seorang penduduk lama Singapura, keluarga Melayu Jawa yang berhasil membeli tanah cukup luas di jalan 6th Avenue berkat usaha produksi tempe dan tahu, mendapat surat dari pemerintah Singapura bahwa kawasan yang didiaminya akan dijadikan kawasan elit dan persyaratan rumahnya merupakan rumah mewah. Dia harus membangun rumah dengan standar yang telah ditentukan atau menjual tanahnya pada pemerintah atau swasta sehingga dapat dibangun pemukiman mewah yang direncanakan.
Untunglah, anak-anaknya mampu membangunkan rumah yang disyaratkan sehingga rumah tersebut menjadi benteng terakhir Melayu di kawasan itu.
Sikap pemerintah Singapura terhadap warga Melayu menjadi perbincangan hangat ketika keluar kebijakan warga Melayu jika masuk menjadi tentara Singapura hanya dapat mencapai pangkat tertentu, karirnya tak dapat diteruskan sampai jabatan puncak. Alasannya,warga Melayu diragukan kesetiaannya terhadap Negara Singapura. Waktu berjalan terus, Singapura yang semula merupakan bagian dari kesultanan Johor telah menjadi negara maju dengan mayoritas Tionghoa.
Dengan perkembangan yang sedang dan akan terjadi di Jakarta, banyak warga Jakarta yang mempertanyakan apakah Jakarta akan berkembang serupa dengan Singapura. Konsep meritocracy telah diamalkan mulai dari kasus lurah Susan, lelang jabatan, pernyataan Wagub Ahok bahwa agama tak perlu dicantumkan di KTP. Opini bahwa warga kurang mampu harus keluar dari Jakarta semakin kuat. Kenaikan PBB sekitar 20 % dirasakan beratnya oleh penduduk yang kurang mampu. Mereka pun bersiap-siap keluar Jakarta dan menjual tanah dan rumahnya.
Pedagang Kaki Lima (PKL) mempunyai atribut yang jelek. Mereka dianggap memacetkan jalan dan
mengotori Jakarta. Upaya relokasi kurang mempertimbangkan kesinambungan pendapatan mereka sehingga sebagian juga harus keluar dari Jakarta.
Bagaimanakah wajah Jakarta di masa depan?
Sekarang jika Anda sempat menelusuri kepemilikan rumah di kawasan Menteng, sekitar masjid Agung Al-Azhar,sekitar separuhnya dimiliki oleh saudara- saudara kita etnis Tionghoa. Sudah tentu jika Anda sempat ke Pluit, Pantai Indah Kapuk, Glodok, dan Kelapa Gading,semuanya mayoritas adalah saudara kita etnis Tionghoa. Apakah warga pribumi di Jakarta akan menjadi minoritas dan menjadi penonton pembangunan Jakarta yang semakin gemerlap? Apakah Jakarta akan berkembang seperti Singapura yang sebagian besar bisnis kepemilikan gedung dan rumahnya merupakan milik saudara-saudara kita etnis TIonghoa dan warga Jakarta akan terus terpinggirkan? Satu lagi pertanyaan adalah setelah Pak Ahok jadi gubernur apakah kita juga akan mempunyai walikota, camat dan lurah yang didominasi pula oleh saudara-saudara kita etnis Tionghoa? Pertanyaan lebih penting lagi, siapa saudara kita, etnis yang akan menjadi presiden kita? (Fpi)
Posting Komentar
Blogger Facebook Disqus